A. ARTI NAMA DAN SEJARAH DESA PONTANG
Sejarah bersifat ’einmalig’ atau sebuah peristiwa yang hanya terjadi sekali dan tidak akan terulang kembali. Sifat tersebut yang sering menghadirkan beragam polemik di tengah masyarakat ketika menelusuri sebuah sejarah masa lalu (lampau) yang panjang. Polemik tersebut terjadi karena sejarah masa lalu disampaikan masyarakat dengan lisan secara turun temurun (masih sedikit yang ditulis) sehingga beragam versi pun muncul dari masyarakat. Namun menelusuri sebuah sejarah merupakan usaha untuk menemukan kekhasan (lokalitas) atau jati diri melalui pencatatan dan penelusuran muasal/musabab serta perjalanannya.
“Pontang diwace boten kewace, dilangkahi Wedi Dose” adalah pribahasa lisan masyarakat Pontang secara turun temurun yang berarti “Pontang dibaca tidak terbaca, dilangkahi Takut Dosa (tidak mampu dilangkahi)”. Pribahasa tersebut mengungkap bahwa Pontang memiliki sejarah yang panjang. Sejarah yang panjang ditandai sebuah kehadiran peradaban manusia yang tua jika dilihat dari sudut pandang sebuah sejarah.
Menurut Penjajah Portugis, Tome Pires, pada awal abad ke 16, Pelabuhan Pontang adalah salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda (Pajajaran) selain pelabuhan Banten, Cigede, Tangaram (Tangerang) calapa (Sunda Kelapa), dan Chimanuk (Muara Sungai Cimanuk). Dikatakan dalam sebuah versi, jauh sebelum Penjajah singgah Pontang sudah memiliki peradaban manusia ditandai dengan adanya sebuah pelabuhan. Pelabuhan Pontang merupakan tempat berlabuh kapal-kapal pedagang baik dari bangsa Cina, Gujarat, Timur Tengah dan sebagainya. Pelabuhan tersebut menjadi pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam.
Pontang tempo dulu merupakan sebuah wilayah yang dikelilingi Alas (hutan belantara). Dalam satu versi penamaan Pontang diambil dari nama seseorang yang memiliki kemampuan lebih (kesaktian). Diriwayatkan seseorang itu bernama Ki Punte. Ki Punte adalah sosok manusia yang terlihat biasa saja. Dalam riwayat tersebut Ki Punte ditugaskan oleh seorang raja untuk Babad Alas (membuka hutan belantara) seorang diri. Dalam melaksanakan tugasnya Ki Punte babad alas (membuka hutan belantara) dengan menggunakan kemampuannya (kesaktian) sehingga dia mampu membuka alas (hutan belantara) tersebut seorang diri. Akhirnya nama wilayah tersebut dijuluki Punte dan lama-lama berubah ejaan menjadi Pontang.
Dalam versi lain Pontang diambil dari nama Takir Pontang (wadah sajen/sajian). Dalam versi tersebut mengungkapkan bahwa di wilayah Banten Utara salah satunya yaitu Pontang dikuasai kerajaan Pajajaran dan memiliki peradaban Masyarakat yang mapan dalam segi kehidupan (sosio Kultur). Masyarakat Pontang tempo dulu dikabarkan masih memeluk kepercayaan yang dibawa oleh kerajaan Pajajaran. Pada masa kerajaan Pajajaran masyarakat tradisional memiliki kebiasaan atau adat yang masih melekat pada tradisi-tradisi yang berkembang di Masyarakat Desa Pontang. Misalnya ketika mengadakan ritual, sajen digunakan untuk ritual menghilangkan bala/bahaya, ritual menyembuhkan orang sakit, ritual pasca panen, dsb. Kemudian dikatakan dalam versi tersebut, jauh sebelum adanya Kesultanan Banten, seseorang (tidak diketahui namanya) datang untuk menyebarkan agama Islam, dan akhirnya banyak masyarakat yang memeluk agama Islam. Agama Islam dalam penyebarannya mampu menyesuaikan dengan kebiasaan masyarakat tradisional Pontang dalam membuat sajen/sajian, namun kebiasaan tersebut diluruskan untuk tetap menyembah kepada Allah sesuai dengan syariat umat Islam. Akhirnya pengertian Takir Pontang (wadah sajen/sajian) diluruskan dengan pengertian bahwa wadah sajen atau Takir Pontang merupakan benda yang terbuat dari Janur yang berasal dari kependekan kata ‘Sejatining Nur’ yang memiliki makna filosofis kesejatian manusia yang melebur bersama Nur Illahiah. Takir Pontang dibentuk menyerupai perahu yang siap mengarungi kehidupan, dihias dengan daun pisang tiga warna. Pupus merupakan warna yang mengartikan tawakal kepada Rabb, ujungan (bagian ujung) berwarna hijau tua menandakan penyerahan secara total, dan klaras warna coklat tua yang bermaksud nglaras (tidak tergesa-gesa) menghadapi kehidupan. Takir Pontang diisi dengan juadah (panganan) yang terbuat dari beras ketan yang memiliki empat warna yaitu putih, kuning, hijau dan merah yang masing-masing memiliki makna tersendiri. Takir Pontang dengan isinya dibagi kepada warga sebagai bentuk rasa syukur dan sedekah terhadap sesama.
Dalam versi berikutnya nama Pontang diambil dari kata ‘Pantang’. Diriwayatkan pada zaman kesultanan Banten di wilayah Pontang terjadi banyak peperangan melawan penjajah Belanda. Dalam peperangan tersebut Masyarakat di wilayah Pontang selalu memerangi penjajah dengan pantang menyerah dan pantang dijajah. Kerena kegigihan memerangi penjajah, pantang menyerah, dan pantang dijajah wilayah tersebut dijuluki Pontang. Dalam satu riwayat salah satu perang melawan penjajah yang pernah terjadi adalah perang pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa yang berkuasa pada masa Kesultanan Banten 1651-1683. Pada saat itu perang dipimpin oleh Raden Tumenggung utusan kesultanan Banten. Raden Tumenggung dan beberapa tokoh Jawara, Ulama dan Umaro di Desa Pontang memerangi penjajah Belanda yang ingin menjajah dan merusak ideologi Islam. Karena penjajah Belanda ingin merusak ideologi Islam, akhirnya Raden Tumenggung, tokoh Jawara, Ulama, dan Umaro memerangi penjajah tersebut dengan memerangi di jalan Allah (Jihad Fi Sabilillah). Dari spirit Jihad Fi Sabilillah perang akhirnya dinamakan perang Sabil dan dalam peperangan tersebut banyak pejuang Islam dari Desa Pontang yang gugur di tempat tersebut. Tempat yang dijadikan perang tersebut akhirnya dinamakan kampung Kesabilan Desa Pontang dan lahir tiga karakter masyarakat Pontang yaitu Jawara yang diartikan berani membela kebenaran, Ulama diartikan memiliki ilmu keagamaan yang kuat, dan Umaro diartikan memiliki jiwa pemimpin. Tiga karakter tersebut sampai saat ini terus dipertahankan melekat pada Masyarakat Desa Pontang.
Dari beberapa hal di atas menandakan Desa Pontang tempo dulu sudah memiliki peradaban manusia yang mapan dalam segi kehidupan (Sosio Kultur) dan membentuk wilayah yang otonom. Pontang dapat dikatakan memiliki sejarah yang panjang dengan Pola kehidupan Masyarakat yang memiliki nilai-nilai luhur baik pada masa kerajaan Pajajaran maupun ketika pemerintahan Kesultanan Banten. Hal-hal tersebut memperkuat pribahasa “Pontang diwace boten kewace, dilangkahi Wedi Dose” yang diungkapkan oleh Masyarakat Desa Pontang yang menandakan Pontang memiliki sejarah peradaban manusia yang panjang.
B. RIWAYAT KEPEMIMPINAN DESA PONTANG
Seperti yang telah dipaparkan dalam sejarah di atas, tentunya Pemerintahan Desa Pontang pun memiliki perjalanan yang panjang, dari mulai Pontang yang dulu merupakan Kewedanaan sampai terjadi pemekaran-pemekaran yang kemudian menjadi pemerintahan Desa Pontang. Dalam perjalanan Pemerintahan Desa Pontang tentunya tidak terlepas dari seorang Pemimpin, namun pada penelusuran kami menegnai Riwayat kepemimpinan dan masa pemerintahan yang tercatat dan yang mampu kami ketahui adalah sebagai berikut:
- Jaro Ikhram (Bekol) Tahun 1890-an
- Jaro Khaerudin
- Jaro Kemidin
- Jaro Fad (zaman penjajahan jepang) Tahun 1940-an
- Jaro Bahrudin
- Jaro Cis periode
- Lurah Supli (Cung), Tahun 1951-an
- Lurah Ndoh, (berdasarkan penunjukan atau penugasan)
- Lurah Kadir
- H. Hayuti, Periode 1974-1982
- Djohari Umar (pemekaran Pontang dan Singarajan), Periode 1982-1990
- Asmala, Periode 1990-2000
- Hujaeni Sawabi, Periode 2000-2008 dan 2008-2015
- Rudi Rustandi, Periode 2015-2021
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
D. LUAS WILAYAH DESA PONTANG
Luas wilayah Desa Pontang adalah 119,350 Ha yang dibatasi oleh wilayah demografis sebagai berikut:
• Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Wanayasa
• Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Singarajan
• Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tirtayasa
• Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kubang Puji
E. JUMLAH PENDUDUK
Jumlah penduduk Desa Pontang adalah 3524 Jiwa dari 1078 Kepala Keluarga (KK) dengan rincian sebagai berikut: